Jumat, 03 April 2009

Menunggang Kuda di Atas Air

Diriwayatkan dari Saham bin Munjab, dia berkata, "Dalam peperangan di wilayah Darain (nama tempat di sekitar Bahrain) Al-Ala bin Al-Hadhrami bersama-sama kami. Al-Ala memanjatkan tiga macam doa, dan ketiga doa itu dikabulkan oleh Allah SWT."

"Kemudian, kami berjalan bersama-sama sehingga tiba di suatu tempat. Kami mencari air untuk wudu tetapi tidak mendapatkannya. Lalu, Al-Ala bin Al-Hadhrami berdiri untuk mengerjakan salat dua rakaat, kemudian berdoa, 'Ya Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Wahai Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Sesungguhnya kami adalah hamba-hamba-Mu yang sedang dalam perjalanan untuk memerangi musuh-Mu. Turunkanlah hujan kepada kami, agar kami dapat minum dan berwudu dari najis. Jika kami telah meninggalkan tempat itu, janganlah ada seorang pun yang engkau beri jatah dari air hujan itu'."

"Belum jauh jarak jalan yang kami tempuh, kami tiba di sebuah sungai deras yang airnya berasal dari air hujan. Dia berkata, 'Kita berhenti di sungai ini dulu untuk minum.' Aku mengisi bejanaku, lalu aku sengaja meninggalkannya di tempat itu. Aku berkata, 'Aku akan lihat, apakah betul permohonannya dikabulkan'."

"Kemudian, kami berjalan kurang lebih satu mil. Aku berkata kepada teman-temanku, 'Aku lupa, bejanaku tidak terbawa.' Aku balik lagi ke tempat itu, maka aku mendapati seolah-olah di sekitar daerah itu tidak pernah turun hujan. Selanjutnya, aku ambil bejanaku dan aku bawa serta."

"Setelah kami sampai di Darain, kami mendapati di hadapan kami terbentang sungai yang menghalangi antara kami dan pasukan musuh. Ketika itu Al-Ala memanjatkan doa lagi, 'Ya Allah, Zat Yang Mahamengetahui, Yang Mahasantun, Yang Mahaagung. Sesungguhnya kami adalah hamba-hamba-Mu, kami dalam perjalanan memerangi musuh-Mu, bukalah jalan untuk kami menuju musuh-Mu'."

"Tidak terduga kami dapat melewati sungai tersebut. Bahkan, kuda-kuda kami, satu pun, tidak basah terkena air, sehingga kami dapat berhadapan dan menyerang musuh."

"Setelah kami kembali dari peperangan, Al-Ala mengeluh sakit perut, yang membawanya meninggal dunia. Sedangkan kami tidak mendapatkan air untuk memandikan jenazahnya. Kemudian, kami kafani dengan baju yang dikenakan, lalu kami kuburkan."

"Tidak berapa lama dari perjalanan kami, kami mendpaatkan mata air. Kemudian, kami saling berkata, 'Marilah kita balik ke tempat itu untuk mengeluarkan jenazah Al-Ala dan memandikannya.' Kami semua kembali, menyusuri tempat ia dimakamkan. Ternyata kami tidak mampu menemukan makamnya, dengan demikian kami gagal memandikan jenazahnya."

"Kemudian, ada seorang laki-laki berkata, 'Aku pernah mendengar dia berdoa kepada Allah, 'Ya Allah, Zat yang Maha Mengethui, Mahasantun, dan Mahaagung, sembunyikanlah jenazahku, jangan Engkau perlihatkan auratku keada seorang pun'."

"Lalu, kami kembali dan kami meninggalkan jasad Al-Ala yang telah dimakamkan di tempat itu." (Hilyatul Aulia, 1/7).

Sumber: 99 Kisah Orang Shalih, terjemahan dari kitab Mi'ah Qishshah min Qishashish, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab

Al-Bashri dan Gadis Kecil

Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusust dan terurai, tak beraturan.
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu.
Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya.
"Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini."
Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, "Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini."
Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makan ayahnya. "Gadis kecil yang bijak," gumam Al-Bashri. "Aku akan ikuti gadis kecil itu."
Gadis kecil itu tiba di makan ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri.
"Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah? Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?"
"Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalm, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?"
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.
"Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, "Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercbik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, ayah?"
"Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?"
"Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?"
"Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?"
"Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?"
"Jika kupanggil, engkau selelu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?"
"Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti."
Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, "Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai."
Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.
Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka

Do'a Ibu

Seorang ahli ibadat dari Bani Israil bernama Juraij membuat tempat ibadah untuk melakukan ibadah-ibadahnya. Kemudian ibunya datang memanggilnya, "Hai Juraij!"
Ia menjawab, "Oh Tuhan, ibuku memanggil dan kami mau shalat," lalu ia mengerjakan shalat, maka ibunya pulang.
Kemudian keesokan harinya, ibunya datang lagi dan memanggil, "Hai Juraij."
Ia menjawab, "Oh Tuhan, ibuku memanggil dan kami mau shalat," lalu iapun melakukan shalat dan ibunya terus pulang.
Keesokan harinya ibu itu datang lagi dan memanggil, "Hai Juraij."
Ia menjawab, "Oh Tuhan, ibuku datang dan kami hendak shalat, maka ibunya jengkel hingga berdo'a:
"Jangan dimatikan anak kami ini sebelum ia melihat wajah perempuan lacur."
Orang-orang Bani Israil menyebut-nyebut tentang Juraij dan ibadahnya, tiba-tiba seorang perempuan lacur yang terkenal akan kecantikannya berkata, "Kalau kalian mau saya sanggup menggugurkan ibadahnya Juraij."
Kemudian perempuan itu merayu dan menggodanya, tetapi Juraij tidak memperdulikan sedikit pun hingga ia jengkel, lalu ia zina dengan seorang penggembala yang tidak jauh dari biaranya Juraij. Kemudian akhirnya ia hamil dan setelah ia melahirkan, berkata kepada orang-orang bahwa anak yang ia lahirkan adalah hasil dari hubungannya dengan Juraij. Maka orang-orang mendatangi biara Juraij dan mereka memaksanya turun, lalu dipukuli bersama-sama dan biaranya dihancurkan.
Ia bertanya, "Mengapa kalian berbuat begitu? Apa salahku?
Mereka menjawab, "Kamu telah berbuat zina dengan perempuan ini hingga ia melahirkan."
Ia bertanya, "Dimanakah sekarang bayinya?"
Maka mereka memberikan bayi itu kepadanya, lalu Juraij melakukan shalat. Kemudian dia mendekati bayi itu dan menekannya dengan jari-jarinya seraya berkata:
"Siapakah ayahmu?"
Tiba-tiba bayi itu menjawab, "Saya adalah anak si penggembala."
Ketika mereka mendengarkan omongan bayi itu, mereka lalu memeluk dan menciumi Juraij seraya berkata, "Sukakah kamu bila biaramu ini kami bangun dari emas?"
Juraij menjawab, "Tidak, kembalikan saja seperti sedia kala", kemudian mereka membangunnya.
Sumber: 1001 Kisah Nyata, Achmad Sunarto