Jumat, 05 Juni 2009

Meraih Surga dengan Meninggalkan Dengki

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata, 'Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga'. Tiba-tiba ada seorang laki-laki dari kaum Anshar yang datang dengan bekas air wudhu masih mengalir di jenggotnya, dan tangan kirinya memegang terompahnya."
"Keesokan hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan seperti perkataannya yang kemarin. Lalu muncullah laki-laki itu lagi, persis seperti kedatangannya pertama kali. Di hari ketiga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata demikian lagi, dan kembali yang datang adalah laki-laki itu lagi persis kejadian pertama. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beranjak, Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash membuntuti laki-laki itu sampai ke rumahnya. Lalu Abdullah berkata kepadanya, 'Aku telah bertengkar dengan ayahku, kemudian aku bersumpah untuk tidak mendatanginya selama tiga hari. Bila kau mengizinkan, aku ingin tinggal bersamamu selama tiga hari'. Dia menjawab, 'Ya, boleh'."
Anas berkata, "Abdullah menceritakan bahwa ia telah menginap di tempat laki-laki itu selama tiga hari. Dia melihat orang itu sama sekali tidak bangun malam (tahajjud). Hanya saja, setiap kali dia terjaga dan menggeliat di atas ranjangnya, dia selalu membaca zikir dan takbir sampai ia bangun untuk salat subuh. Selain itu--kata Abdullah--aku tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali yang baik-baik."
"Setelah tiga malam berlalu dan hampir saja aku menyepelekan amalnya, aku terusik untuk bertanya, 'Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran dan tak saling menyapa antara aku dan ayahku, aku hanya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang dirimu tiga kali, bahwa akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga, dan sebanyak tiga kali itu kaulah yang datang. Maka, aku pun ingin bersamamu agar aku bisa melihat apakah amalanmu itu dan nanti akan aku tiru. Tetapi, ternyata kau tidak terlalu banyak beramal. Apakah sebenarnya yang membuatmu bisa mencapai apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'. Maka dia menjawab, 'Aku tidak mempunyai amal kecuali yang telah engkau lihat sendiri'.
"Ketika aku hendak pulang, dia memanggilku, lalu berkata, 'Benar amalku hanya yang kau lihat, hanya saja aku tidak mendapati pada diriku sifat curang terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku juga tidak iri pada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah Subhaanahu wa Ta'ala kepadanya'. Maka Abdullah bin 'Amr berkata, 'Inilah amal yang telah mengangkatmu pada derajat yang tinggi dan inilah yang berat kami lakukan'."
Sumber: Musnad Ahmad 3/166

Pencuri Bertakwa

Ada seorang pemuda yang bertakwa, tetapi dia sangat lugu. Suatu kali dia belajar pada seorang syekh. Setelah lama menuntut ilmu, sang syekh menasihati dia dan teman-temannya: "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya, seorang yang alim yang menadahkan tangannya kepada orang lain atau orang berharta, tak ada kebaikan dalam dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah dengan pekerjaan ayah kalian masing-masing. Sertakanlah selalu ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut."
Maka pergilah pemuda tadi menemui ibunya seraya bertanya: "Ibu, apakah pekerjaan yang dulu dikerjakan ayahku?" Sambil bergetar ibunya menjawab, "Ayahmu sudah meninggal. Apa urusanmu dengan pekerjaan ayahmu?" Si pemuda ini terus memaksa agar diberitahu, tetapi si ibu selalu mengelak. Namun, akhirnya si ibu terpaksa angkat bicara juga, dengan nada jengkel si ibu berkata, "Ayahmu dulu seorang pencuri."
Pemuda itu berkata, "Guruku memerintahkan kami--murid-muridnya--untuk bekerja seperti pekerjaan ayah kami masing-masing dan dengan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut."
Ibunya menyela, "Hai! apakah dalam pekerjaan mencuri ada ketakwaan?" Kemudian anaknya yang begitu polos menjawab dengan tenang, "Ya, begitu kata guruku."
Lalu dia pergi bertanya pada orang-orang dan belajar bagaimana seorang pencuri melakukan aksinya. Sekarang ia telah mengetahui teknik mencuri. Inilah saatnya beraksi. Dia menyiapkan alat-alat mencuri, kemudian salat Isya' dan menunggu sampai orang-orang tidur. Kemudian dia mulai keluar rumah untuk menjalankan provesi ayahnya dengan penuh ketakwaan, seperti perintah gurunya. Dia mulai dengan rumah tetangganya. Saat hendak masuk ke dalam rumah itu dia ingat pesan gurunya agar selalu bertakwa. Akhirnya rumah tetangga itu ditinggalkannya. Ia lalu melewati rumah lain, dia berbisik pada dirinya, "Ini rumah anak yatim, dan Allah melarang kita makan harta anak yatim." Dia terus berjalan dan akhirnya tiba di rumah seorang pedagang kaya yang tidak ada penjaganya. Orang-orang sudah tahu bahwa pedagang ini memiliki harta yang melebihi kebutuhannya. "Haa, di sini," gumamnya. Pemuda itu segera memulai aksinya. Dia berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci yang telah dipersiapkannya. Setelah berhasil masuk, rumah itu ternyata besar dan banyak kamarnya. Dia berkeliling di dalam rumah, sampai menemukan tempat penyimpanan harta. Dia membuka sebuah kotak, didapatinya emas, perak, dan uang tunai dalam jumlah yang banyak. Dia tergoda untuk mengambilnya. Lalu dia berkata, "Eh, jangan! Guruku berpesan agar aku selalu bertakwa. Barangkali pedagang ini belum mengeluarkan zakat hartanya. Kalau begitu, sebaiknya aku keluarkan zakatnya terlebih dahulu."
Dia lalu mengambil buku-buk catatan yang ada di situ dan menghidupkan lentera kecil yang dibawanya. Sambil membuka lembaran buku-buku itu dia menghitung. Dia memang pandai berhitung dan punya pengalaman dalam pembukuan. Dia hitung semua harta yang ada dan memperkirakan berapa zakatnya. Kemudian dia pisahkan harta yang akan dizakatkan. Dia masih terus menghitung dan menghabiskan waktu berjam-jam. Saat menoleh, ternyata fajar telah menyingsing. Dia bicara sendiri, "Ingat takwa kepada Allah! Kau harus salat subuh dulu!" Kemudian dia keluar menuju ruang tengah, lalu berwudu di bak air untuk selanjutnya melaksanakan salat sunnah. Tiba-tiba tuan rumah itu terbangun. Dilihatnya dengan penuh keheranan, ada lentera kecil yang menyala. Dia lihat juga kotak hartanya dalam keadaan terbuka serta ada orang yang sedang melakukan salat. Istrinya bertanya, "Apa ini?" Dijawab oleh suaminya, "Demi Allah, aku juga tidak tahu." Lalu dia menghampiri si pencuri itu, "Kurang ajar, siapa kau dan ada apa ini?" Si pencuri berkata, "Salat dulu baru bicara. Ayo pergilah wuduk lalu salat berjamaah. Tuan rumahlah yang berhak menjadi imam."
Karena khawatir pencuri itu membawa senjata, si tuan rumah menuruti kehendaknya. Tetapi--wallahu a'lam-- bagaimana dia bisa salat dengan khusyu'. Selesai salat dia bertanya, "Sekarang coba ceritakan, siapa kau dan apa urusanmu?" Dia menjawab, "Saya ini pencuri." "Lalu apa yang kau perbuat dengan buku-buku catatanku itu?" tanya tuan rumah lagi. Si pencuri menjawab, "Aku menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Sekarang aku sudah menghitungnya dan juga sudah aku pisahkan agar kau dapat memberikannya pada orang yang berhak." Hampir saja tuan rumah itu dibuat gila karena terlalu keheranan. Lalu ia berkata, "Hai, ada apa denganmu sebenarnya. Apa kau ini sudah gila?"
Mulailah si pencuri itu bercerita dari awal sampai akhir. Setelah tuan rumah itu mendengar ceritanya dan mengetahui ketepatan serta kepandaiannya dalam menghitung, juga kejujuran kata-katanya, serta mengerti akan manfaat dan kewajiban zakat, dia pergi menemui istrinya. Mereka berdua mempunyai seorang anak gadis. Setelah keduanya berbicara, tuan rumah itu kembali menemui si pencuri, lalu berkata, "Bagaimana sekiranya kalau kau kunikahkan dengan putriku. Aku akan angkat engkau menjadi sekretaris dan juru hitungku. Kau boleh tinggal bersama ibumu di rumah ini." Ia menjawab, "Aku setuju." Di pagi harinya tuan rumah memanggil para saksi untuk acara akad nikah putrinya dengan si pemuda itu.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia